Mencari Akar Radikalisme

Oleh : Edi Jatmiko )*

Kemiskinan merupakan hal krusial yang dihadapi oleh banyak negara termasuk Indonesia. Masalah ini tidak hanya berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat, tetapi juga meningkatnya angka kriminalitas yang tidak main-main. Bahkan kemiskinan juga bisa menjadi sebab tumbuhnya radikalisme.

Direktur Eksekutif Society Againts Radicalism and Violente Extremism (Serve) Indonesia, Dete Aliah mengatakan radikalisme dan terorisme tumbuh subur di masyarakat yang tidak sejahtera. Dete menilai, dalam menangani masalah radikalisme dan terorisme, tentu diperlukan pula perbaikan kualitas hidup masyarakat.

Dete menuturkan, penyebaran radikalisme dan terorisme juga kerap menggunakan narasi ekonomi. Seperti narasi yang disebarkan oleh Bahrun Naim, terduga keras sebagai dalang aksi serangan Jakarta 2016.

Melalui akun media sosialnya, Dete menyebarkan narasi ekonomi. Ia menyebarkan narasi bahwa di Suriah tidak ada sama sekali pungutan biaya parkir kendaraan.

Bahraum menuliskan kalau tidak ada pungutan seperti itu di Indonesia, maka Indonesia akan sejahtera.

Dete juga mencontohkan kebijakan politik yang menjadi landasan seseorang menjadi teroris. Hal tersebutlah yang dirasakan oleh pelaku bom buku tahun 2011. Ia menjadi teroris karena rumahnya pernah digusur pada era orde baru.

Kelompok radikal kerap menjanjikan kehidupan yang terjamin bagi siapapun yang bersedia bergabung. Meski demikian ada beragam syarat, salah satunya harus mendukung pelaku teroris yang ditangkap pihak kepolisian.

Meski demikian Radikalisme bisa muncul bukan hanya karena miskin secara materi. Namun radikalisme bisa muncul dari kelompok-kelompok masyarakat yang miskin akan wawasan kemanusiaan, miskin akan pemahaman keagamaan dan miskin pengalaman bergaul lintas kulutral. Hal ini bisa berdampak pada sem

Sebelumnya Effendy Choirie atau yang biasa dipanggil Gus Choi menilai bahwa paham radikal memang biasanya menjangkiti masyarakat kelas menengah ke bawah atau miskin. Tingkat ekonomi ternyata berbanding lurus dengan daya beli ditengah pandemi.

Radikalisme juga merupakan ekses dari distorsi dalam sistem demokrasi. Ketikita hendak mencapai keputusan politik, musyawarah untuk mufakat kerap dilupakan dan pemungutan suara diambil sebagai salah satu fasilitas.

Media sosial seperti telegram, facebook hingga twitter, dimanfaatkan oleh kelompok radikal ataupun teroris untuk menyebarkan ideologinya. Biasanya mereka mengawalinya dengan membuat narasi keresahan terhadap pemerintah. Narasi keresahan inilah yang nantinya akan menjadi pengantar dalam merekrut anggota.

Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu mengatakan secara total selama 10 tahun terakhir pihaknya telah memblokir 11.800 situs dan akun media sosial berisi radikalisme dan terorisme.

Konten dan situs radikalisme tersebut tentu saja sangat berbahaya, hal ini disebabkan karena situs radikalisme dan terorisme menyangkut ketahanan bangsa dan negara.

Internet khususnya media sosial menawarkan akses yang relatif sederhana dan jangkauan yang tidak terbatas. Selain itu anonimitas untuk menyembunyikan identitas juga sangat mungkin untuk dilakukan  kaum radikal, hal itu tentu saja menjadi keuntungan bagi kelompok radikal untuk melindungi identitas dirinya.

Kelompok seperti ISIS misalnya, mereka sangatlah menguasai teknologi informasi dibanding kelompok lainnya, setidaknya hampir semua kelompok radikal di Timur Tengah memiliki akun media sosial untuk propaganda.

Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga saat ini sudah memantau 200 situs di Internet yang bermuatan negatif. Pada tahun 2015 sebanyak 22 situs yang menyebarluaskan radikalisme sudah diblokir oleh pemerintah. Pemblokiranpun tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit.              

Sejak Era ISIS, proses radikalisme berubah, yang sebelumnya melalui kamp-kamp pelatihan, lantas proses radikalisme bertransformasi melalui media daring. Seakan Media sosial menjadi inkubator radikalisme hingga kemudian tren radikalisme semakin mudah dan cepat menyebar.

Kemunculan pergerakan seperti NII (Negara Islam Indonesia) tentu menjadi masalah pelik jika dibiarkan terus-menurus,

Sehingga, kementerian komunikasi dan informasi melakukan pengawasan yang ketat untuk menangkap penyebaran radikalisme melalui online.

Pergerakan organisasi radikal seperti ISIS di Indonesia tentu perlu diantisipasi oleh seluruh lapisan masyarakat. Eksistensi organisasi radikal di Indonesia tentu sangat berbahaya bagi ketahanan negara Indonesia apabila masyarakat tidak berperan dalam mengantisipasi gerakan-gerakan radikalisme.

Kemiskinan dan Media Sosial memang harus mendapatkan perhatian. Keduanya masuk secara senyap tapi ampuh merambah pikiran masyarakat untuk berperilaku layaknya kaum radikal.

)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini