Galungan, Kemenangan Dharma atas Adharma dalam Konteks Kekinian

Sebuah pelinggi di tempat suci yang dihias kober dan payung Bali. (foto ist).

Oleh : Jro Mangku Wayan Supadma Kerta Buana, S.Pd.H,.M.Pd

Buda kliwon wuku dunggulan merupakan hari suci Galungan yang dilaksanakan oleh umat Hindu berdasarkan atas perhitungan pawukon. Galungan rutin dilaksanakan setiap enam bulan sekali, yang dimaknai sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) atas adharma (ketidakbenaran). Mitologi pelaksanaan hari Galungan sebagai kekalahan Raksasa Mayadanawa yang sombong dan angkuh berhasil dibunuh oleh Bhatara Indra

Prosesi Galungan dimulai dari sejak Saniscara Kliwon Wariga, sebagai hari tumpek pengatag. Hari dimana umat Hindu melakukan pemujaan kepada Bhatara Sangkara sebagai permohonan agar segala tumbuhan atau pepohonan bisa berbunga atau berbuah sehingga bisa dijadikan sebagai sarana galungan.

Selanjutnyas sebelum melaksanakan ritual hari suci Galungan, terlebih dahulu diawali dengan prosesi pembersihan dan penyucian alam semesta (bhuana agung) dan diri sendiri (bhuana alit). Penyucian bhuana agung dilakukan pertama, yakni dengan melaksanakan persembahan pada Wrehaspasti Wage Sungsang (Kamis Wage Sungsang) sebagai persembahan untuk penyucian alam semesta (bhuana agung).

Besoknya, pada Sukra Kliwon Sungsang (Jumat Kliwon Sungsang) dilakukan upacara penyucian diri yang disebut dengan sugian Bali. Tujuannya adalah menyucikan diri dan melakukan pembersihan diri dalam menyambut kemenangan dharma diatas adharma pada hari suci Galungan. Pada kedua hari suci ini umat Hindu melaksanakan persembahan secara khusus terkait dengan pembersihan dan penyucian. Dilaksanakan dan ditujukan kepada kelangsungan dan kesucian alam semesta serta kesucian masing-masing diri sehingga tidak dipengaruhi atau diganggu oleh godaan.

Buta Tiga Galungan

Tiga hari sebelum Galungan diyakini turunnya kekuatan tiga Butha yang menggoda manusia dalam menyambut pelaksanaan hari suci Galungan. Ketiga butha itu diantaranya sang butha galungan, sang butha dunggulan dan sang butha amangkurat. Tiga kekuatan butha ini masing-masing turun sesuai dengan harinya yakni, hari pertama pada redite paing dunggulan tepat pada hari penyekeban turunnya sang butha galungan. Butha ini menjadi butha yang paling pertama menggoda kesiapan seseorang dalam menjalankan hari suci galungan.

Pada penyajaan merupakan hari dimana umat Hindu melakukan nyekeb buah ataupun sarana upacara yang digunakan pada hari suci galungan. Hari penyekeban ini menjadi hari pengendalian diri sebagai simbolisasi usaha penyimpan kemurnian kebenaran (dharma) menyambut datangnya galungan.

Butha kedua turun pada soma pon dunggulan yang merupakan hari penyajaan adalah butha dunggulan. Penyajaan  sebagai hari untuk membuat sarana upakara berupa jajan. Pada penyajaan ini umat Hindu diharapkan melakukan mengendalikan diri agar terhindar dari pengaruh buruk butha dunggulan.

Hari ketiga merupakan turunnya butha amangkurat, tidak seperti kedua butha yang turun sebelumnya butha amangkurat  tidak hanya menggoda keteguhan manusia namun juga melakukan godaan dalam bhuwana agung.

Butha amangkurat  turun saat penampahan galungan sebagai puncak godaan yang dilakukan oleh ketiga butha tiga galungan. Simbolisasi penampahan dapat dimaknai sebagai sebuah usaha untuk menghilangkan (nampah) segala macam sifat-sifat hewani yang mampu mengarahkan manusia pada keburukan dan tindakan-tindakan negatif.

Galungan bukan Hanya Kemenangan Simbolik

Galungan sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma tidak saja dimaknai secara simbolik, namun dimaknai dengan impelementasi penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Umat Hindu tidak hanya memaknai hari suci galungan dalam persembahyangan namun juga dibarengi dengan menjalankan kebenaran dalam konteks prilaku kehidupan yang menerapkan kebenaran-kebenaran sebagai dasar pedoman hidup.

Dalam konteks melaksanakan kewajiban, umat Hindu juga menerakan kebenaran kewajiban masing-masing (swadharma) sebagai sebuah kebenaran. Penerapan ini dilakukan dengan menjalankan swadharma dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tugas serta tupoksi masing-masing sehingga mampu melaksanakan serta menghasilkan yang terbaik atas swadharma yang telah dilakukan dengan baik.

Kemenangan kebenaran atas ketidakbenaran tidak saja dimaknai sebagai kemenangan manusia mengalahkan musuh di luar diri, tetapi bagaimana manusia mampu mengalahkan ego diri dengan pikiran dan prilaku bijaksana sebagai bagian dari implementasi melaksanakan kebenaran. Inilah yang patut dilawan oleh manusia yaitu dengan menundukkan egois diri dalam proses tahapan pemaknaan galungan.

Menapaki Galungan proses pembersihan bhuana agung dan bhuana alit dan diteruskan dengan menghadapi serta menundukan Sang Kala Tiga Galungan adalah proses pengendalian diri dengan dimulai dari diri sendiri, sehingga jika dalam diri sudah mampu melakukan kebenaran dengan dasar yang benar maka kita juga akan mampu mempraktekkan nilai-nilai kebenaran kepada setiap orang dari keluarga, lingkungan hingga masyarakat luas.

Inilah proses menuju cahaya kesadaran sehingga mampu menundukan kegelapan adharma dalam diri kita tumbuh menjadi insan yang cerdas dan berpengetahuan kebijaksanaan. Seperti yang dijelaskan dalam lontar sundarigama. “Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep”.

Rahayu

Oleh : Jro Mangku Wayan Supadma Kerta Buana, S.Pd.H,.M.Pd

Penulis Alumnus UNHI dan UHN IGB Sugriwa