Disbud Bali Gandeng Dinas PMA Beri Pemahaman Seni Sakral

Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha bersama narasumber dan peserta FGD di Denpasar. ANTARA/Ni Luh Rhismawati

INFODENPASAR, Denpasar – Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menggandeng Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) setempat memberikan pemahaman kepada para bandesa adat terkait dengan seni sakral.

“Kami akan bekerja sama dengan Dinas PMA untuk memberikan pemahaman kepada para bandesa adat, sebab kantong-kantong seni sakral itu ada di desa adat,” kata Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha di Denpasar, Minggu (03/07/2022).

Sebelumnya, Disbud Provinsi Bali menggandeng Majelis Kebudayaan Bali menggelar diskusi kelompok terpumpun tentang Seni Sakral pada Sabtu (2/7).

Diskusi menghadirkan tiga narasumber, yakni budayawan Prof Dr I Wayan Dibia , Prof Dr I Made Bandem, dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali yang diwakili oleh Petajuh Bidang Adat Agama, Seni Budaya, Tradisi dan Kearifan Lokal Bali I Gusti Made Ngurah.

Diskusi dimoderatori Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra antara lain dihadiri para anggota MKB dan Kelompok Ahli Bidang Pembangunan bidang Adat, Agama, Tradisi, Seni dan Budaya Pemprov Bali.

Menurut Arya Sugiartha, diskusi tersebut dilatarbelakangi maraknya seni sakral yang dijalankan tidak pada tempatnya dan tidak memenuhi kriteria-kriteria seni sakral.

“Bahkan ada tari rejang yang digunakan untuk mencari rekor MURI, dijadikan untuk penyambutan, dan keluar dari uger-uger (aturan) seni sakral,” ucap mantan Rektor ISI Denpasar tersebut.

Oleh karena itu, dikhawatirkan terjadi degradasi nilai tarian itu.

“Selain merupakan arahan dari pimpinan, kami juga menerima banyak masukan dari para pakar terkait kondisi ini,” katanya.

Ia mengatakan kegiatan harus diawali dengan memberikan pemahaman kepada para bandesa adat tentang apa itu seni sakral. Seni sakral adalah seni yang diciptakan melalui proses sakralitas yang hal itu termaktub dalam Perda 4 Tahun 2020.

Setelah memberikan pemahaman kepada bendesa adat, kalau diperlukan, mungkin akan dikeluarkan SE tentang perlindungan seni sakral.

Dalam diskusi tersebut juga disepakati, untuk tari-tari yang ada pakem akan diperkuat lagi dengan membukukan pakem-pakem kesenian tersebut, agar jangan justru kesenian yang mendominasi dibanding kesenian pokoknya.

Budayawan Prof Dibia mengaku sudah cukup lama mengamati perkembangan kesenian Bali dan merasakan kekhawatiran tersebut.

Menurut dia, sekulerisasi terjadi akibat tergeser fokus-fokus kesenian sakral dari semula sebagai persembahan menjadi sajian yang menghibur dan menarik perhatian penonton manusia.

Banyak yang melihat fenomena ini sebagai suatu hal yang biasa, bukti terus berdenyut kreativitas seni budaya dan dianggap sebagai inovasi dari seniman. Namun tak sedikit pula yang khawatir bahwa ini jelas-jelas menunjukkan degradasi terhadap nilai-nilai kesucian kesenian yang selama ini dimuliakan.

Ada enam ciri-ciri seni sakral, antara lain menggunakan benda dan simbol sakral, melibatkan proses penyucian, dilakukan oleh orang-orang pilihan, dilaksanakan di tempat suci, pada waktu tertentu yang disakralkan, dan membawakan tema sakral.

Ia berpendapat, pemahaman masyarakat tentang mana yang dimaksud dengan tari sakral perlu terus digencarkan, termasuk para pelaku seni juga mengetahui tatanan jika akan membawakan tari sakral.

Ia mengakui diperlukan pemahaman ulang terkait dengan hal ini.

Ia menyatakan setuju pemahaman ini diberikan terlebih dahulu kepada bandesa adat.

Soal proses penyucian untuk berkesenian sakral juga menjadi fokus pembahasan bagi narasumber lainnya, Prof Dr I Made Bandem MA.

Selain itu, dari segi kostum penari juga menggunakan pakaian-pakaian yang disucikan, bukan sembarangan.

Ia mengutarakan seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, banyak tari sakral berubah menjadi sekuler.

Banyak anggota masyarakat yang belum memahami arti sakral dan profan sehingga mereka bisa mengaburkan pementasan-pementasan yang terkait dengan berbagai upacara keagamaan.

Untuk menanggulangi dampak buruk suatu kemajuan zaman, menurut dia, perlu mengembalikan fungsi tari sakral dipentaskan di pura-pura di desa pemilik tarian tersebut.

Petajuh Bidang Adat Agama, Seni Budaya, Tradisi dan Kearifan Lokal MDA Bali I Gusti Made Ngurah mengungkapkan lakon tari wali yang dipentaskan dalam Panca Yadnya disesuaikan dengan hakikat dan makna yadnya yang bersangkutan.

Pewarta : Ni Luh Rhismawati
Editor : Maximianus Hari Atmoko

Kantor Berita ANTARA