Filosofi Tumpek Landep dan Hubungannya dengan Benda-Benda Tajam

Keris adalah benda tajam yang penting dalam upacara Agama Hindu di Bali. (foto iwan darmawan).

Oleh : Jro Mangku Wayan Supadma Kerta Buana, S.Pd.H,.M.Pd

Enam bulan sekali, tepatnya pada pertemuan saptawara saniscara dengan pancawara kliwon pada wuku landep dikenal dalam tradisi Hindu di Bali sebagai hari suci Tumpek Landep. Dalam pelaksanaannya, tumpek landep biasanya dihubungkan dengan benda-benda tajam. Bahkan dalam perkembangannya, tidak hanya benda-benda tajam namun juga benda-benda yang terbuat dari unsur-unsur besi (sarwa besi) yang diupacarai oleh umat Hindu di Bali.

Tumpek landep, dilihat dari struktur katanya terdiri atas dua unsur kata yakni tumpek berasal dari kata tumampek yang artinya mendekatkan diri dan landep yang berarti lancip atau tajam. Jika digabung susunan dua kata tersebut menjadi mendekatkan diri dengan menjadi tajam. Kemudian merujuk pada gabungan dua kata tersebut data dimaknai sebagai pendekatan diri kepada kepada Tuhan yakni dalam permohonan untuk menjadi tajam, yang dalam hal ini adalah ketajaman pikiran.

Mengutip Lontar Sundarigama, yang menyebutkan “Kunang ring wara landep, saniscara kliwon pujawalin bhatara Siwa, miwah yoganira Sang Hyang Pasupati kalingaya rikang wang apasupati landep ing idep, samangkana lekasakna sarwa mantra wisesa danurdhara, uncarakna ring bhusananing paperangan kunang, nunas kasidhiang ing sanghyang pasupati”.

Merujuk kutipan lontar Sundarigama tersebut dapat dimaknai bahwa di wuku landep hari sanicara kliwon adalah pemujaan kepada Bhatara Siwa dan beryoganya Sang Hyang Pasupati. Dalam pelaksanaanya khusus pada manusia, dilaksanakan dengan menajamkan pikiran begitu juga dengan mengucapkan mantra-mantra pemujaan yang dalam hal ini adalah kehadapan Bhatara Siwa  dan Sang Hyang Pasupati. Pada pemujaan Tumpek landep  juga dapat dilaksanakan dalam pemuliaan pada alat, busana perang, memohon kekuatan kepada Sang Hyang Pasupati.

Dalam tradisi pemujaan di Bali Sang Hyang Pasupati sangat diyakini sebagai penganugerah kekuatan sidhi yang berhubungan dengan tuah-tuah benda. Hal inilah kemudian menjadi erat kaitannya dengan upacara terhadap benda-benda tajam yang diantaranya seperti keris, tombak, tameng dan benda-benda pusaka lain yang dimana sangat diyakini dalam proses dari pembuatan, pemeliharannya dilakukan dengan proses sakralisasi dan memunculkan kekuatan dari benda-benda yang milikinya itu secara niskala.

Dalam ranah kekinian, perkembangannya hari tumpek landep telah mengarah menjadi mengupacarai benda-benda sarwa besi seperti motor, mobil dan benda-benda rumah tangga. Semua jelas tidak salah, karena ini lebih berhubungan dengan proses penghormatan dan permohonan kepada Ida Bhatara sehingga apa yang dimiliki itu akan memberikan efek manfaat baik kepada si pemiliknya.

Lebih jauh dari pemaknaan itu, tumpek landep harus dimaknai mendalam atas perenungan di dalam diri. Memuliakan  diri dengan cara menajamkan idep (pikiran) karena pikiran manusia adalah pusat kendali atas perkataan dan perbuatan. Pikiran menjadi sangat penting ditajamkan untuk meningkatkan kualitas diri berhubungan dengan prinsip hindup manusia untuk mencapai kecerdasan pikiran sehingga muncul gagasan-gagasan baik yang otomatis juga akan berdampak baik bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Penajaman pikiran dalam konteks pemujaan tumpek landep  juga masih berkaitan dengan prosesi setelah hari suci Saraswati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Inilah yang kemudian menjadi dasar untuk menjamkan pikiran, karena hanya pengetahuan yang mampu melepaskan manusia dari ikatan kegelapan (awidya) sehingga menjadi memiliki widya (berpengetahuan). Mengasah diri dengan terus mempelajari pengetahuan yang tidak ada habiskan akan membuat pikiran manusia menjadi tajam sehingga kualitas hidup manusia menjadi lebih baik. Rahayu.

Penulis Alumnus UNHI dan UHN IGB Sugriwa