Karya Bhatara Turun Kabeh di Besakih 7 April, Umat Diminta Sembahyang dari Rumah

Bendesa Agung MDA Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet dan Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana.

INFODENPASAR, Denpasar – Pada Purnama Kedasa, tanggal 7 April 2020 ini akan dilaksanakan upacara Karya Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih. Berbeda dengan pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya, Karya ini akan dilakukan secara sederhana dengan melibatkan Pelaksana Upacara dari awal (pengawit) sampai akhir (penyineb) dilakukan oleh Krama Desa Adat Besakih.

Demikian Keputusan Bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Nomor: 020/PHDI-Bali/111/2020, dengan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Nomor: 04/SK/MDA-Prov Bali/III/2020 yang mengatur ketentuan dalam pelaksanaan upacara Panca Yadnya dan atau kegiatan adat dalam status pandemi covid-19 di Bali. Surat bersama ini ditandatangani oleh Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana dan Bendesa Agung MDA Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet dan diketahui oleh Gubernur Bali I Wayan Koster pada 28 Maret 2020.

Surat yang berlaku sejak ditandatangani ini didasari hasil paruman bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali tanggal 28 Maret 2020 dan Surat Edaran PHDI Pusat No. 312/SE/PHDI Pusat/I11/2020 tentang PEDOMAN PERAWATAN JENAZAH DAN UPACARA PITRA YAJNA BAGI JENAZAH PASIEN COVID-19.

Pada pelaksanaan Karya Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih, melasti akan dilakukan secara Ngubeng, Karya Nyejer (berlangsung) a wuku (7 rahina). Pangubhaktian Krama Siosan (Panyungsung/Panyiwi) ngayat saking Merajan / Sanggah soang-soang. Sedangkan Ring Padharman nganutin pamargi sekadi ring ajeng, nyejer tur kasineb a rahina, “Karena kondisi ini, saya berharap umat Hindu untuk tidak datang sembahyang ke Pura Besakih, karena bisa membuat kerumunan yang saat seperti saat ini diharapkan tidak terjadi. Namun tetap sembahyang di merajan rumah masing-masing,” jelas Ketua PHDI Bali Ngurah Sudiana.

Sedangkan karya Ngusaba Kadasa di Pura Batur, Bangli, juga berlaku hal sama, dimana pelaksana upacara sejak awal hingga akhir (panyineban) dilakukan (kamargiang) olih Krama Desa Adat Batur. Karya Nyejer a wuku (7 rahina). Pangubhaktian Krama Siosan ngayat saking Merajan / Sanggah soang-soang.  Sedangkan Krama Subak yang akan mengaturang suwinih ke Pura Batur, hanya diwakili oleh utusan maksimal 2 orang.

Sementara itu Bendesa Agung MDA Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet menjelaskan PRINSIP UPACARA PANCA YADNYA:

Yadnya dalam bentuk upacara wajib dilaksanakan sesuai dengan tiga kerangka agama Hindu, yang meliputi: Tattwa, Susila, dan Acara. Dalam hal ini Acara mencakup: kitab suci, orang suci, tempat suci, hari suci, dan upacara suci.

Upacara Yadnya dalam praktik agama Hindu di Bali menyediakan pilihan beragam, sebagai berikut:

Kanistaning Kanista (kecil/inti), Madyaning Kanista, Utamaning Kanista; Kanistaning Madya; Madyaning Madya, Utamaning Madya; Kanistaning Utama; Madyaning Utama, dan Utamaning Utama.

Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya boleh dan dibenarkan ada penyesuaian sesuai dengan prinsip Desa (Tempat Pelaksanaan Upacara Yadnya), Kala (Waktu Pelaksanaan Yadnya), dan Patra (Kondisi Orang yang Melaksanakan Yadnya) dan berdasarkan sastra.

Ada Upacara Yadnya yang pelaksanaannya harus mencari Dewasa Ayu, seperti mapandes, pawiwahan; ada pula Upacara Yadnya yang dilaksanakan tanpa mencari Dewasa Ayu, seperti upacara tiga bulanan, otonan, dan sejenisnya.

Yadnya mesti didasari dengan niat, pikiran, dan hati yang lascarya nekeng twas (tulus ikhlas).

JENIS UPACARA PANCA YADNYA

Yadnya dalam bentuk upacara menurut agama Hindu terutama meliputi lima jenis yang disebut Panca Yadnya, yakni: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, PitraYadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya.

Dalam setiap pelaksanaan Upacara Yadnya senantiasa ada Tri Manggalaning Yadnya, yakni:

1.  Sang Yajamana, yang melaksanakan Upacara Yadnya;

2. Sang Tapini/Sarati, yang merancang dan membuat banten (tukang banten); dan

3. Sang Wiku Pamuput, yang memimpin pelaksanaan Upacara Yadnya, biasanya sulinggih dwijati atau pamangku ekajati. Dalam hal ini Sang Yajamana dapat bermusyawarah untuk mufakat dengan Sang Tapini serta Sang Wiku Pamuput.

PELAKSANAAN UPACARA PANCA YADNYA

Berdasarkan pertimbangan prinsip Dharma Agama dan Dharma Negara tersebut, maka Pelaksanaan Upacara Panca Yadnya selama berlangsung “Pandemi COVID-19” di Provinsi Bali, diberlakukan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

1. Semua Upacara Panca Yadnya yang bersifat ngawangun (direncanakan), seperti karya malaspas, ngenteg linggih, ngaben, ngaben massal, mamukur, maligia, Rsi Yadnya (Padikshan), serta karya ngawangun yang lainnya, seperti “maajar-ajar, nyegara-gunung”dan lain-lain, supaya DITUNDA sampai batas waktu dicabutnya Status Pandemi COVID-19.

2. Upacara Panca Yadnya selain yang bersifat ngawangun (direncanakan) sebagaimana dimaksud pada angka 1, dapat dilaksanakan dengan melibatkan peserta yang terbatas.

3. Dalam setiap pelaksanaan Upacara Panca Yadnya sebagaimana dimaksud pada angka 2 agar mengikuti prosedur tetap penanggulangan pandemi COVID-19 dari instansi yang berwenang:

a.  Tetap mengutamakan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);

b.  Tetap menjaga jarak antar orang paling sedikit 1,5-2,0 meter;

c.  Tersedia tempat mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau cairan pembersih tangan (hand sanitizer); dan

d.  Menggunakan masker.

Ketua PHDI Bali Ngurah Sudiana menjelaskan tentang Karya di Pura selain Kahyangan Jagat.

a. Pelaksana Upacara saking pangawit ngantos panyineban kamargiang olih Krama Pamaksan /Pangemong.

b. Malasti Ngubeng.

c.  Nyejer paling suwe 3 rahina.

d.  Pangubhaktian Krama ngayat saking Merajan / Sanggah soang-soang.

e.  Tidak diiringi seni wali/wewalen, seperti gambelan, rejang, baris, topeng siddha karya miwah sane tiosan.

Sedangkan untuk Pitra Yadnya

a.  Upacara Pitra Yadnya, berupa Ngaben, bagi yang meninggal karena positif COVID-19, dilakukan dengan kremasi langsung atau makingsan di gni sesuai dengan Protokol Kesehatan COVID-19.

1)  Jenasah diantarkan oleh petugas kesehatan.

2)  Upacara makingsan di gni / kremasi disesuaikan.

b.  Bagi yang meninggal bukan karena COVID-19, supaya dilaksanakan Upacara makingsan di gni atau dikubur, kecuali Sulinggih dan Pamangku.

c.  Apabila Ngaben tidak mungkin ditunda, dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut

1)  Upacara dilaksanakan dengan sederhana dan jumlah peserta yang terbatas.

2)  Tidak ada undangan, atau bentuk keramaian lainnya.

Sedangkan untuk  Manusa Yadnya

a.  Upacara Manusa Yadnya yang terkait dengan kelahiran, seperti upacara bayi telu bulanan (tiga bulan), otonan (hari lahir/siklus enam bulanan) DAPAT DILAKSANAKAN dengan:

1)  Upacara dilaksanakan dengan sederhana dan jumlah peserta yang terbatas.

2)  Tidak ada undangan, atau bentuk keramaian lainnya.

b.   Apabila Upacara Pawiwahan tidak dapat ditunda, maka pelaksanaannya dengan ketentuan sebagai berikut:

1)  Dihadiri hanya oleh kedua pihak keluarga inti dan saksi-saksi;

2)  Upakara paling inti berupa pakala-kalaan/pabyakaonan, tataban di Bale (Atma Kerthri, banten nunas Tirta Tri Kayangan Desa Adat, Tirta Mrajan, dan Tirta dari Sulinggih—cukup dilaksanakan oleh 2-3 orang.

3)  Pawiwahan cukup dipimpin Pamangku dibantu oleh Sarati Banten.

4)  TIDAK MENGGELAR RESEPSI—sampai batas waktu “Status Pandemi COVID-19” dicabut resmi oleh Pihak Berwenang.

Pada bagian akhir, Ketua MDA Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet meminta semua Kegiatan Adat yang melibatkan banyak orang, seperti pasangkepan, patedunan, dan sejenisnya supaya DITUNDA, atau kalau harus dilaksanakan agar pesertanya dibatasi.

Pewarta : Iwan Darmawan

Pewarta : Eka Widya Putra

Tim INFODENPASAR.ID