Home ARTIKEL Menuju Bali “New Normal” : Gunakan Keunggulan Entrepreneurship Pariwisata (2)

Menuju Bali “New Normal” : Gunakan Keunggulan Entrepreneurship Pariwisata (2)

Ilustrasi.

Oleh : I Gede Bagia Arta *

Sebulan sejak diumumkan pertama kali kasus positif covid di Indonesia, kita banyak membaca di media bagaimana seorang manager di suatu perusahaan terdampak harus berjualan sayur keliling dan sebagai driver transportasi online untuk bisa survive. Di bagian lain, kita bisa membaca bagaimana seorang mahasiswa yang harus belajar dari rumah kemudian mengisi waktu di luar proses belajar, berbisnis kuliner dengan memanfaatkan media sosial. Juga, ada seorang pekerja migran yang pulang kampung memulai bisnis sembako keliling dengan bermodalkan tabungan yang dimiliki. Di beberapa ruas jalan kita banyak melihat penjual bahan makanan musiman. Tidak ketinggalan, menggejalanya gerakan membantu usaha teman dan tetangga dengan membeli produk yang dijual. Pada usaha skala menengah, kita melihat tekad untuk memanfaatkan musim sepi akibat CoronaVirus Disease (COVID-19) ini untuk konsolidasi ke dalam dan melakukan improvement (perbaikan) di segala aspek pengelolaan bisnis.

Sementara itu, dalam kehidupan sehari-hari terjadi pergeseran kebiasaan yang signifikan. Silahturahmi sudah mulai dilakukan secara online, demikian juga proses belajar mengajar. Di sisi lain tiba-tiba kita semua, dari anak-anak pra sekolah sampai orang tua, dari masyarakat kota sampai pelosok desa, tergopoh-gopoh belajar menggunakan aplikasi video conference agar bisa belajar dan bekerja dari rumah. Suasana menjadi heboh, semarak, dan gegap gempita, menyesuaikan kebiasaan selama ini dengan suatu tatanan baru. Seolah-olah disrupsi yang diramalkan akan terjadi sepuluh tahun lagi dipaksa oleh COVID-19 untuk dihadapi sekarang. Tanpa terasa kita sudah mulai terbiasa dengan teknologi baru, sudah terbiasa dengan norma baru, dan yang paling penting sudah terbiasa untuk menjalankan standar baru untuk hidup sehat.

Saat tidak seorang pun dapat meramalkan dengan pasti kapan pandemi COVID-19 ini akan berakhir, peristiwa di atas harus kita gunakan untuk mempromosikan nilai-nilai baru dalam kehidupan bermasyarakat. Kita harus mulai menumbuhkan budaya apresiasi bagi kreativitas, kerja keras, kemampuan belajar dari kesalahan, gaya hidup sehat, dan sikap tidak malu melakukan langkah kecil selama bernilai tambah.

Mulai mengikis perasaan “gengsi” yang tidak pada tempatnya dan memprioritaskan produktivitas dalam setiap kegiatan di tengah situasi yang serba dibatasi secara sosial dan fisik.

Pada saat yang sama juga mendorong kemampuan adaptasi pada penggunaan teknologi baru. Perlahan-lahan kita gelorakan semangat untuk membangun kesetiakawanan sosial dan entrepreneurial society – sebuah masyarakat yang digerakkan oleh entrepreneurship di mana kerangka sistem dan kebijakan kelembagaan mendorong penerapan yang senantiasa cerdas dan jeli menangkap peluang alih-alih hanya meratapi keadaan dalam situasi saat ini.

Ketika Bali bertekad untuk membangun kemandirian ekonomi dan pangan dengan tidak terlalu tergantung semata pada sektor pariwisata, salah satu cara justru harus mulai dari memanfaatkan keunggulan Bali pada industri pariwisata itu sendiri.

Penekanannya pada industri pariwisata – bukan bisnis pariwisata saja – yang memperhatikan kaidah-kaidah di antaranya: produktivitas, efisiensi, standar kualitas produk/layanan, nilai tambah, kompetensi, dan keberlanjutan.

Sebagai sebuah industri multikomponen, struktur industri pariwisata sangatlah kompleks dan beragam. Struktur industri ini menciptakan sebuah rantai pemasok yang menarik. Pelaku usaha dalam jalur rantai pemasok ini hampir seluruhnya adalah UMKM.

Untuk lebih memahami keberadaan rantai pemasok dalam struktur industri pariwisata, mari kita ambil satu contoh, misalnya bisnis spa. Dalam struktur industri, bisnis spa memerlukan pemasok bahan-bahan seperti minyak, bahan aromaterapi, dan “boreh”. Kebutuhan bahan-bahan ini dipenuhi oleh pemasok, yang mana pemasok tersebut memerlukan juga pemasok bahan baku, dan akibat kebutuhan bahan baku kemudian tumbuh petani yang melakukan budidaya bahan baku tersebut.

Pertanyaannya kemudian, apakah masyarakat umum juga memerlukan minyak dan “boreh”? Kalau jawabannya ya, dengan mudah kita bisa memahami bahwa akan terbentuk usaha penyediaan “boreh” untuk masyarakat lokal, bukan untuk turis. Contoh yang sama terjadi pada penyediaan bahan makanan di hotel, toh pemasok bahan makanan tersebut bisa memasok masyarakat lokal bahkan kalau punya kapasitas bisa melayani ekspor. Dengan pengalaman melayani hotel yang terbiasa dalam standar kualitas pariwisata kemudian menjadi bekal penting untuk melayani pelanggan lain di luar bisnis pariwisata. Dan, ketika semua ini dibangun dalam konteks industri maka pelayanan kepada wisatawan dan bukan wisatawan akan sama yaitu selalu memperhatikan kaidah-kaidah industri.

Apabila kita mampu melakukan hal yang serupa dengan bisnis “boreh” dan “bahan makanan” sebagaimana ilustrasi di atas, pada rantai pemasok yang lain, maka tidak relevan lagi dikotomi antara pariwisata dan bukan pariwisata, melainkan justru kita memanfaatkan keunggulan dan pengalaman Bali di bidang pariwisata untuk menggerakkan sektor ekonomi lainnya seperti sektor pangan dan pertanian, layanan kesehatan, pengobatan herbal, pendidikan, teknologi informasi, jasa konstruksi, jasa keuangan, jasa pemasaranan, logistik, dan retail.

I Gede Bagia Arta

Selanjutnya akan tercipta industri berkualitas dalam berbagai sektor sementara industri pariwisata tetap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya. Hal ini akan membuat kita tangguh dan selalu fleksibel dalam mengatasi fluktuasi yang terjadi akibat ketidakpastian kondisi di waktu yang akan datang.

Kalau kita sepakat dengan new normal atau tatanan baru ini, mari kita gerakkan konsensus dan komitmen seluruh stakeholder berlandaskan strategi yang cermat dalam eksekusi transformasi untuk masa depan Bali yang lebih baik…

* Penulis Konsultan Managemen dan Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB)

Exit mobile version