“Menuju New Normal” : Jangan Menghindari Kenyataan Bali Memang di Dunia Pariwisata (1)

Gede Bagia Arta

Oleh : Gede Bagia Arta *

Ketika di Bali gelombang PHK dan merumahkan karyawan tidak terelakan akibat pandemi COVID-19, mulai lagi muncul anjuran dan gerakan kembali bertani, baik sebagai peternak, bercocok tanam, maupun sebagai tenaga serabutan sektor pertanian. Bahkan, kita mendengar juga komentar berulang – tepatnya dalam nuansa menyesal – agar kita meninggalkan pariwisata dan total kembali ke sektor pertanian.

Sementara itu, yang lebih bijak, banyak pihak mengajak kita untuk lebih menyadari ketergantungan yang sangat besar pada pariwisata ternyata menyimpan persoalan yang membahayakan kemandirian secara ekonomi dan pangan, dan tentunya ke depan ini sangat berpengaruh pada ketahanan kita bermasyarakat.

Lalu, apa makna yang bisa kita petik dari keadaan saat ini?

Ya, sekali lagi kita punya momentum untuk tidak menunda membangun kemandirian dan ketangguhan ekonomi kita. Bali tidak bisa lagi meninggalkan pariwisata. Karena segala infrastruktur dan sarana telah dibangun dan matang untuk menopang industri pariwisata, dan ini sudah menjadi diferensiasi bagi Bali. Kita harus melihat ini sebagai suatu peluang yang istimewa bagi Bali, bukan justru menghindarinya.

Hanya satu tambahan catatannya yaitu: mau tidak mau kita harus meningkatkan keunggulan bersaing manusia Bali. Ya harus siap menyambut Bali New Normal Bali di mana manusianya siap bersaing dengan tetap pada jati diri nilai-nilai luhur budaya Bali. Sebuah tantangan yang tidak mudah namun tidak ada pilihan lain.

Salah satu tantangan terbesar bagi kita kemudian adalah bagaimana budaya Bali yang agraris komunal, mampu mengadaptasi prinsip-prinsip budaya industri. Sebuah transformasi harus dirancang dengan baik dengan melibatkan seluruh stakeholder dan para pemimpin Bali. Diperlukan kerendahan hati semua pihak untuk tidak hanya membanggakan romantisme masa lalu, namun juga memiliki kesamaan visi masa depan manusia dan budaya Bali. Tentu saja diperlukan komitmen dan kerja keras untuk melakukan eksekusi transfromasi ini.

Beberapa prinsip budaya industri adalah “produktivitas”, “standar”, dan “entrepreneurship”. Mimpi besar kita bagaimana masyarakat Bali mulai terbudaya untuk meningkatkan produktivitasnya dan terbiasa dengan standar dalam bekerja. Akan lebih mantap lagi “produktivitas” dan “standar” ini dilandasi dengan karakter entrepreneurship (kewirausahaan).

Entrepreneurship bukanlah suatu status kesuksesan seseorang sebagai pengusaha, namun suatu karakter yang mencakup: kerja keras, inovatif, tahan banting, menghargai proses, dan mampu menciptakan nilai tambah. Penghargaan terhadap entrepreneurship ini akan membuat kita tidak hanya menghargai seberapa sukses atau kaya seseorang namun juga menghargai proses dan usaha sekecil apapun untuk meraih kesuksesan.

Walau tetap harus diingat, bahwa kita juga harus mulai mengurangi ketergantungan pada pariwisata. Maka syarat penting terlebih dahulu yang harus kita penuhi adalah membangun budaya masyarakat yang memprioritasikan “produktivitas”, “standar”, dan mendahulukan karakter entrepreneurship.

Entah apapun bidang yang akan kita tekuni – apakah itu pertanian, nelayan, sektor informal, berkesenian – dengan landasan karakter entrepreneurship, pemenuhan standar kualitas industri. Dan ada komitmen meningkatkan produktivitas, maka kita akan mampu unggul dalam bersaing dan tentunya mampu mewujudkan kemandirian secara ekonom dan pangan. Dan sebagai hasil akhir adalah budaya Bali akan tetap lestari. Ya budaya Bali yang selalu adaptif dengan kekinian jaman….

* Penulis, Konsultan Manajemen dan Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB).