Oleh : Raditya Rahman )*
Dalam upaya penanganan pandemi covid-19, pemerintah juga melibatkan aparat keamanan seperti TNI, Polri dan BIN. Hal ini rupanya menjadi peluang bagi “aktor radikal” yang ingin membuat gangguan, terutama bagi pemerintah. Aktor tersebut ingin memanfaatkan kelengahan aparat untuk melancarkan aksinya.
Pengamat intelijen dan keamanan Stansislaus Riyanta meminta aparat keamanan, TNI, Polri serta BIN untuk tetap waspada dan menutup ruang bagi kelompok-kelompok radikal yang berpotensi membuat situasi keamanan nasional tidak kondusif saat pemerintah masih fokus menangani pandemi covid-19.
Stansilaus mengatakan, dengan adanya tekanan ekonomi dan pemberlakuan PSBB yang sempat membuat penutupan tempat ibadah seperti masjid. Tentu hal ini akan menjadi isu yang digoreng oleh aktor-aktor tertentu dengan tujuan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Gangguan keamanan rupanya terjadi pada April lalu, yakni ketika kelompok Mujahidin Indonesia Timur melakukan aksi teror terhadap petugas kepolisian di Poso.
Dilain tempat, pada awal Juni lalu, serangan dari kelompok radikal pun menyasar Polsek Daha Selatan, Kalimantan Selatan. Serangan ini menunjukkan bahwa kelompok teroris memanfaatkan celah kerawanan saat pandemi covid-19 untuk menyerang aparat kepolisian.
Sementara di Kupang NTT, kelompok pengusung khilafah pun melakukan penyebaran pamflet berisi ideologi khilafah. Padahal sudah jelas bahwa ideologi khilafah bertentangan dengan ideologi pancasila.
Berbagai ancaman tersebut tentu harus diusut dan dicegah agar tidak terulang kembali. Apalagi kelompok ini senantiasa menganggap bahwa semua kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan syariat. Dari sinilah narasi radikal muncul yang membumbui setiap hembusan konten yang dibuat oleh para radikalis.
Apalagi selama pandemi covid-19, situasi ini juga memaksa masyarakat untuk bekerja dan belajar secara daring, sehingga hal ini menjadi peluang yang lebih besar bagi kelompok teroris untuk mengintensifkan propaganda mereka yang sering kali disampaikan melalui media sosial.
Komjen Pol Boy Rafli Amar, mengakui bahwa pandemi covid-19 semakin mengaktifkan kelompok terorisme. Hal itu didukung data dari densus 88 Polri yakni sepanjang 2009, Densus 88 berhasil menangkap 300 tersangka teroris, sedangkan pada 2020 sampai juli, jumlah tersangka teroris yang berhasil ditangkap sudah mencapai 100 orang.
Ketua Bidang Garapan Hubungan Lembaga dan Organisasi (Garhubanlog) Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP Persis) M Faisal Nursyamsi mengatakan, masyarkat harus mewaspadai virus radikalisme.
Ia mengatakan, bahwa pandemi covid-19 bukan hanya masalah kesehatan saja, tetapi dampak sosialnya juga memunculkan penyakit sosial dan kultural.
Dirinya-pun setuju dengan adanya istilah virus radikalisme yang harus tetap diwaspadai oleh masyarakat, karena virus ini secara senyap terus berusaha mencari celah untuk merongrong keberlangsungan hidup bangsa Indonesia yang bernafaskan Pancasila.
Tentu saja virus radikalisme yang mencoba meradikalisasi masyarakat saat pandemi tidak boleh didiamkan saja, karena virus-virus seperti itu juga berbahaya bagi keberlangsungan bangsa Indonesia, apalagi jika sampai mempengaruhi pemikiran manusia.
Jika virus corona bisa dibasmi dengan vaksin, maka kita perlu menanamkan vaksin agar tidak mudah terpapar paham radikal, vaksin itu bernama nilai islam yakni rahmatan lil alamin. Vaksin ini jelas tidak membenarkan bahwa agama Islam tidak pernah mengajarkan pembunuhan ataupun teror. Jika terdapat perbedaan pendapat, maka semestinya harus diluruskan dengan cara yang baik, bukan dengan provokasi atau aksi teror yang hanya melukai.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Rafli Amar mengatakan, kaum radikalis masih tetap menyebarkan ideologinya dengan menggunakan isu covid-19 sebagai bukti dekatnya hari kiamat agar umat bergabung dengan mereka. Selain itu mereka juga semakin aktif bergerak di dunia media sosial sebab banyak masyarakat yang online di rumah sebagai dampak dari penerapan pembatasan sosial berskala besar.
Pihaknya menegaskan, akan membuat satgas ulama bersama NU dan Muhammadiyah sebagai bentuk kontra narasi. Program ini mempromosikan nilai-nilai dan membangun moderasi serta mempromosikan filosofi negara Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Paham radikal tentu tidak bisa dibiarkan menyebar, paham ini bisa masuk kedalam isu manapun terutama yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Alih-alih menjadi solusi atas permasalahan umat, justru radikalisme telah terbukti meninggalkan jejak luka dan kerusakan.
)* Penulis adalah kontributor Gerakan Mahasiswa Jakarta