Home ARTIKEL Perlu Sanksi Tegas untuk Pelanggar Protokol Kesehatan

Perlu Sanksi Tegas untuk Pelanggar Protokol Kesehatan

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Roni Sampir mengatakan bahwa menurut survei hanya 60 persen warga yang mematuhi anjuran mengenakan masker saat berada di luar rumah untuk menghindari penularan COVID-19. ANTARA/Adiwinata Solihin

Oleh : Gendhis Ayu )*

Di masa pandemi Covid-19 ini ternyata masih banyak orang yang melanggar protokol kesehatan seperti malas pakai masker dan tidak menjaga jarak. Untuk mengatasinya, maka pemerintah berencana memberi hukuman kepada pelanggar tersebut, berupa denda maupun sanksi sosial. Tujuannya agar memberi efek jera pada para pelanggar.

Pemerintah selalu mengumumkan agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan seperti social distancing dan wajib pakai masker. Namun sayangnya masih ada saja yang tambeng dan malas memakai masker. Kondisi ini sangat berbahaya karena bisa membuat serangan virus Covid-19 gelombang kedua. Apalagi sekarang corona bisa menular lewat udara kotor.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berencana memberi sanksi kepada masyarakat yang melanggar protokol kesehatan, dan berlaku mulai 27 juli. Sebelumnya mereka yang tak memakai masker hanya ditegur lalu diberi sehelai masker oleh petugas Satpol PP. Namun karena makin banyak pelanggaran, mereka akan diberi sanksi denda sebesar 150.000 rupiah.

Langkah Ridwan ini sudah didahului oleh Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Bahkan di ibukota sanksinya lebih berat, yakni denda 250.000 rupiah untuk orang yang tertangkap tidak pakai masker. Mereka juga bisa memilih hukuman lain berupa  membersihkan pasar memakai rompi. Sanksi ini tak mempermalukan, namun dibuat agar mereka kapok.

Untuk tempat umum yang melanggar protokol kesehatan berupa physical distancing, maka sanksinya jauh lebih berat. Sebuah rumah makan di Jakarta, terbukti memiliki kapasitas pengunjung lebih dari 50 %. Tempat itu langsung didatangi petugas dan pemiliknya didenda sebesar 10 juta rupiah, dan langsung dilarang untuk beroperasi selama beberapa waktu.

Menko PMK Muhdjir Effendy juga menyatakan bahwa pemerintah pusat sedang menggodok rencana pemberian sanksi kepada mereka yang melanggar protokol kesehatan. Sanksi diberikan karena saat ini masih banyak yang bandel dan tak pakai masker.  Jawa Timur yang termasuk zona merah, ternyata 70 % warganya tidak pakai masker kain atau face shield.

Rendananya sanksi dari pemerintah pusat bisa berupa denda, kerja sosial, atau tindak pidana ringan. Menurut pasal 205 ayat (1) KUHP, hukuman tindak pidana ringan (tipiring) ini bisa berupa denda sebanyak 750.000 rupiah atau kurungan maksimal 3 bulan. Anda tentu tidak mau masuk bui gara-gara melanggar protokol kesehatan, bukan?

Mengapa pelanggar harus diberi sanksi berupa denda ratusan ribu hingga jutaan rupiah atau sanksi sosial? Karena hal ini bisa menimbulkan efek jera. Masyarakat rupanya belum bisa hidup disiplin jika hanya diberi pengumuman protokol kesehatan. Namun jika ada hukuman  denda, mereka akan berpikir 2 kali sebelum melanggar, karena tak mau membayarnya.

Sanksi sosial berupa hukuman untuk menyapu jalanan atau membersihkan pasar dan tempat umum lain dengan memakai rompi khusus juga dirasa cukup ampuh. Tujuannya agar pelanggar protokol kesehatan kapok dan menceritakannya kepada orang lain. Jadi makin banyak orang yang berdispilin dan mereka tidak mau kena sanksi sosial yang melelahkan.

Jangan marah jika tertangkap oleh satpol PP ketika tidak pakai masker, karena mereka menjalankan tugasnya. Saat pandemi Covid-19, kedisiplinan dalam mematuhi protokol kesehatan sangat diperlukan. Agar tidak ada lagi yang tertular corona dan bisa hidup dengan tertib. Kita tentu ingin Indonesia segera bebas dari virus Covid-19, oleh karena itu harus disiplin.

Pemberian sanksi dan denda bagi orang yang tak pakai masker dan pelanggar protokol kesehatan lain masih direncanakan. Pemberian sanksi ini ampuh untuk memberi efek jera terhadap masyarakat, agar tetap disiplin. Masyarakat masih harus mematuhi protokol kesehatan, karena aturan ini dibuat untuk keselamatan kita sendiri.

)* Penulis adalah kontributor Gema Institute