UNESCO Sampaikan Komitmen Pertahankan Subak Sebagai Warisan Budaya

Arsip foto - Seorang wisatawan mancanegara memotret pamandangan sawah di Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (18/1). Sawah seluas 303 ha di Kabupaten Tabanan itu kini diproteksi dari alih fungsi lahan sekaligus dikelola menjadi obyek wisata setelah diakuinya Subak oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia (WBD). (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/ed/pd//pri)

INFODENPASAR, Badung – Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada World Water Forum ke-10 di Bali berkomitmen merawat dan mempertahankan kelestarian sistem pengairan pertanian Bali atau yang biasa disebut dengan Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia

“Salah satu upaya, termasuk melakukan advokasi perlindungan warisan budaya terkait dengan air demi mengatasi tantangan permasalahan air di abad ke-21, semuanya sangat terkait erat dalam konteks Subak,” kata Wakil Direktur Jenderal UNESCO, Xing Qu di Badung, Bali, Rabu (23/05/2024).

Sistem irigasi subak telah ada sejak ribuan tahun silam dan bertahan sampai kini karena dijaga secara turun temurun. Pada 29 Juni 2012 UNESCO pun menetapkan bahwa Subak sebagai warisan budaya dunia dan hingga saat ini tetap konsisten berkomitmen mempertahankannya.

Xing Qu memaparkan sejumlah inisiatif dan program yang dilakukan UNESCO dalam meningkatkan promosi dan edukasi terkait dengan bagaimana memanfaatkan air secara bijak.

Sejumlah inisiatif itu diantaranya dukungan pendidikan terkait dengan pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan memfasilitasi kerja sama air lintas batas. Upaya itu selaras dengan semangat yang digaungkan dalam World Water Forum ke-10 di Bali.

“Kita harus merefleksikan kembali bagaimana hubungan kita dengan air, bagaimana selama ini kita telah mengkonsumsi dan mengolah air. Kami juga akan merilis inisiatif-inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang lebih berkelanjutan,” ungkapnya.

Lebih lanjut Xing Qu menyampaikan kekagumannya terkait kehidupan masyarakat Bali yang selalu berhubungan erat dengan air mulai dari lahir hingga meninggal, berbagai upacara dan ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali selalu melekat dengan air.

Sebab itu, katanya, jika masyarakat tidak lagi bisa mengakses air dan terjadi krisis, maka kondisi ini akan menjadi ancaman. Jika hal itu terjadi, dampak krisis air tidak hanya akan dialami oleh masyarakat di Bali saja sebagai pusat destinasi wisata dunia, melainkan juga berpotensi dialami masyarakat global.

Sementara saat itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid mengungkapkan kearifan lokal soal tata kelola air sudah melekat di masyarakat Indonesia.

Selama ribuan tahun, masyarakat Nusantara sudah mengolah air sebagai sumber utama kehidupan. Kearifan lokal itu menjadi ‘perpustakaan peradaban’ yang sangat besar dan menjadi pembelajaran serta bisa berkontribusi bagi masyarakat global.

Menurut dia, isu pengelolaan air sangat kompleks karena perlu penanganan komprehensif dan dibutuhkan kerja sama lintas negara. Subak bisa menjadi contoh yang baik karena sistem pengelolaan air ini menawarkan cara yang efektif dan berkelanjutan.


Pewarta : Kuntum Khaira Riswan
Editor : Atman Ahdiat

Kantor Berita ANTARA