Upaya Bersama Membendung Radikalisme

ilustrasi.

Oleh : Panji Saputra )*

Radikalisme telah memiliki rekam jejak panjang di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bersama untuk membendung radikalisme, termasuk dengan mendalami pemahaman tokoh bangsa HOS Tjokroaminoto.

Sejarawan Bonni Triyanto, ia mengungkapkan sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Pemikiran HOS Tjokroaminoto bisa dipraktikkan untuk membendung radikalisme berbasis agama.

Menurutnya, Tjokroaminoto yang dijuluki sebagai sang ‘Indonesia’ karena menjadi guru para founding father bangsa dan menyatukan berbagai perbedaan lewat Sarekat Islam, bisa dijadikan rujukan untuk menangangi masalah radikalisme saat ini.

Bonnie menuturkan, bahwa Presiden Soekarno kala itu telah menegaskan pernyataan dari bangsa oleh bangsa dan untuk bangsa. Pernyataan tersebut seharusnya membuat statistik agama yang membagi mayoritas-minoritas tidak lagi relevan.

Untuk membendung radikalisme agama melalui pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto juga perlu menggandeng organisasi muslim tradisional terbesar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Tentunya menggandeng yang dimaksud bukan dalam bentuk politik.

Tujuan menggandeng organisasi Islam tradisional tersebut bertujuan untuk menjaga dan merawat perbedaan, mereduksi potensi konflik dan memoderasi mereka yang memiliki tafsir lain terhadap pemahaman agama.

Bonnie menerangkan di masa organisasi awal seperti lahirnya Sarekat Islam (SI) yang didirikan HOS Tjokroaminoto pada 1912, gerakan radikalisme tersebut.

Hingga pemerintah Belanda saat itu begitu takut dan mencoba meredam radikalisasi Sarekat Islam. Namun, radikalisasi yang muncul di era Tjokroaminoto itu bukan isu agama, melainkan keadilan, penindasan dan juga kemerdekaan.

Ketika Sarekat Islam berjaya, Islam menjadi pengikat solidaritas untuk melawan koloialisme semua yang beda, termasuk mereka yang beda agama diperbolehkan masuk Sarekat Islam.

Bahkan Sarekat Islam bisa dimasuki orang-orang berhaluan kiri, seperti Henk Sneevliet, tokoh Belanda pendiri ISDV yang menjadi cikal bakal lahirnya PKI.

Berbeda dengan saat ini, dirinya melanjutkan bahwa radikalisme muncul dari satu kelompok berdasarkan agama.

Bonnie tak menampik sejumlah survei yang dirilis lembaga seperti Setara Institute dan Wahid Institute yang menyebut bahwa radikalisme sudah merasuki pemikiran jutaan masyarakat Indonesia.

Tjokroaminoto telah memberikan Warisan terbaik dimana Sarekat Islam bisa menjadi wadah bersama dan memberikan kebebasan sesuai aturan bersama dengan tanggungjawab.

Tentu saja kebebasan itu tidak melanggar aturan yang sudah disepakati, yakni Pancasila dan UUD 1945. Dengan memahami pancasila tentu saja kita telah memiliki dasar untuk menolak paham radikal.

Radikalisme adalah ancaman terhadap ideologi bangsa, karena hal tersebut ada kaitannya dengan faktor Kebhinekaan, toleransi dan harmoni. Dengan kita memahami Pancasila, tentu saja kita akan memiliki dasar untuk melawan segala paham radikalisme seperti intoleransi dan terorisme.

Oleh karena itu penting kiranya penanaman kembali nilai-nilai pancasila di benak masyarakat, sehingga masyarakat dapat memaknai arti sebenarnya dari sikap bela negara.

Pancasila lahir sebagai buah ideologi yang berasal dari hasil rapat yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang memerintahkan kepada 9 orang untuk merumuskan naskah Pancasila yang berlaku hingga saat sekarang.

Pada tahun 1916 saat Kongres Sarekat Islam yang bernama National Congress 1 Central Sarekat Islam yang dilaksanakan di Bandung, HOS Tjokroaminoto berorasi dengan nada tinggi. Pemimpin besar Sarekat Islam ini berseru tentang ide kemerdekaan bagi bangsa Hindia (Indonesia).

Dari 9 tokoh BPUPKI atau yang disebut tim sembilan yang diberikan wewenang untuk menyempurnakan naskah Pancasila ini, ada sosok sentral yang merupakan murid langsung yang pernah ditempa oleh Tjokroaminoto, yakni presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Hal tersebut dibuktikan dari beberapa buku yang ditulis oleh Soekarno perihal pemikiran nasionalisme yang ia miliki merupakan bentuk dari banyaknya ia berdiskusi dengan Tjokroaminoto.

Dengan memahami sejarah nasionalisme ini, tentu saja bisa memahami bahwa nilai-nilai Pancasila tidak bisa digantikan oleh ideologi apapun. Semua sila yang ada dalam pancasila merupakan tuntutan yang telah disepakati oleh masyarakat Indonesia dari berbagai suku maupun agama.

Radikalisme adalah musuh bersama, paham radikal tidak hanya ada dalam agama tertentu tetapi semua agama juga memiliki potensi untuk bertindak radikal. Menjadikan pancasila sebagai tuntunan tentu menjadi salah satu cara untuk menghadang paham radikal yang bisa masuk dari berbagai penjuru.

)* Penulis adalah warganet, tinggal di Depok